Senin, 31 Mei 2010

Dampak Supermarket Terhadap Pasar Tradisional di Sekitar Perkotaan Indonesia

0 komentar
I. PENDAHULUAN
Persaingan sengit dalam industri ritel telah melanda negara-negara maju sejak abad yang
lalu, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Persaingan terjadi terutama antara
usaha ritel tradisional dan ritel modern (supermarket dan hipermarket). Namun,
menjelang dekade akhir milenium lalu persaingan telah meluas hingga ke negara-negara
berkembang, di mana deregulasi sektor usaha ritel yang bertujuan untuk meningkatkan
investasi asing langsung (IAL) telah berdampak pada pengembangan jaringan
supermarket (Reardon & Hopkins 2006). Reardon et al (2003) menemukan bahwa sejak
2003 pangsa pasar supermarket di sektor usaha ritel makanan di banyak negara
berkembang seperti Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Meksiko, Polandia, dan Hongaria
telah mencapai 50%. Di Brazil dan Argentina, di mana perkembangan supermarket telah
lebih dulu dimulai, pangsa pasarnya mencapai sekitar 60%. Traill (2006) menggunakan
berbagai asumsi dan memprediksi bahwa menjelang 2015, pangsa pasar supermarket akan
mencapai 61% di Argentina, Meksiko, dan Polandia; 67% di Hongaria; dan 76% di
Brazil.
Di Indonesia, supermarket lokal telah ada sejak 1970-an, meskipun masih terkonsentrasi
di kota-kota besar. Supermarket bermerek asing mulai masuk ke Indonesia pada akhir
1990-an semenjak kebijakan investasi asing langsung dalam sektor usaha ritel dibuka
pada 1998. Meningkatnya persaingan telah mendorong kemunculan supermarket di kotakota
lebih kecil dalam rangka untuk mencari pelanggan baru dan terjadinya perang
harga. Akibatnya, bila supermarket Indonesia hanya melayani masyarakat kelas
menengah-atas pada era 1980-an dan awal 1990-an (CPIS 1994), penjamuran
supermarket hingga ke kota-kota kecil dan adanya praktik pemangsaan melalui strategi
pemangkasan harga memungkinkan konsumen kelas menengah-bawah untuk mengakses
supermarket. Persoalan ini tentu juga dialami di negara berkembang lainnya (Reardon et
al 2003; Collett & Wallace 2006). Kendati persaingan antarsupermarket secara teoretis
menguntungkan konsumen, dan mungkin perekonomian secara keseluruhan, relatif
sedikit yang diketahui mengenai dampaknya pada pasar tradisional. Mengukur dampak
amat penting mengingat supermarket saat ini secara langsung bersaing dengan pasar
tradisional, tidak hanya melayani segmen pasar tertentu. Studi ini menganalisis dampak
supermarket pada pasar tradisional dan pengusaha ritel di pusat-pusat perkotaan di
Indonesia.1
Dalam studi ini, responden hanya terbatas pada pedagang di pasar-pasar tradisional yang
merupakan mayoritas pedagang-pedagang tradisional di Indonesia. Terlebih lagi, karena
produk yang umumnya diperdagangkan para pedagang ini juga tersedia di supermarket
dan hipermarket, maka pasar modern menjadi pesaing utama mereka. Karena itu, studi
ini menyoroti dampak supermarket dan hipermarket pada pedagang di pasar tradisional di
Indonesia.

II. TINJAUAN LITERATUR
Tersedia cukup banyak literatur mengenai dua bidang utama dalam sektor ritel di negaranegara
berkembang yang dipengaruhi oleh supermarket, yakni: mata rantai pasokan dan
pengusaha ritel tradisional (baca Reardon & Berdegué 2002, Reardon et al 2003, Traill 2006,
dan Reardon & Hopkins 2006 untuk tinjauan literatur pada studi khusus mengenai suatu
negara). Supermarket memilih, mengatur, dan mengikat para pemasoknya dengan kontrak
jangka menengah melalui skala ekonominya. Selain memiliki pusat-pusat distribusinya
sendiri yang secara langsung berhubungan dengan para petani, mereka memanfaatkan
grosir/tengkulak tertentu untuk menyediakan produk makanan dengan kualitas dan kemasan
yang telah disepakati terlebih dahulu. Praktik seperti ini memiliki dampak positif dan
sekaligus negatif pada mata rantai pasokan. Di sisi positif, praktik seperti ini mendorong para
pemasok untuk lebih profesional karena mereka harus mengantar barang tersebut sesuai
jadwal dan memiliki laporan keuangan yang diaudit. Kedua, para pemasok saat ini tidak lagi
mudah terkena dampak perubahan harga karena penetapan harga telah disepakati dalam
kontrak. Namun, ada beberapa dampak negatif, termasuk supermarket yang tidak
memasukkan pemasok kecil yang tidak mampu memenuhi standar kualitas, biaya
penyimpanan barang, dan tidak dapat menyanggupi jangka waktu pembayaran yang lebih
panjang daripada para pengusaha ritel tradisional.
Dampak umum pada pengusaha ritel tradisional adalah negatif dan kerap mengikuti pola
yang sama. Pengusaha ritel tradisional pertama yang terpaksa menutup bisnisnya
umumnya adalah mereka yang menjual barang-barang umum, makanan olahan, produk
susu, lalu diikuti oleh toko yang menjual produk segar dan pasar basah. Setelah beberapa
tahun bergelut dengan persaingan, pengusaha ritel tradisional yang biasanya masih tetap
bertahan berdagang adalah mereka yang menjual satu jenis produk atau mereka yang
berjualan di lokasi di mana supermarket secara resmi tidak diperkenankan untuk masuk.
Untuk beberapa alasan tren ini tidaklah mengejutkan. Pertama, melalui skala ekonominya,
supermarket dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang
lebih murah. Kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah diakses
publik. Ketiga, supermarket menyediakan lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan
bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran—
seperti kartu kredit dan kartu debit dan menyediakan layanan kredit untuk peralatan rumah
tangga berukuran besar. Keempat, produk yang dijual di supermarket, seperti bahan pangan,
telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan dijual bila telah kedaluwarsa.
Hanya ada satu studi mengenai hubungan antara supermarket dan pasar tradisional di
Indonesia yang ditemukan. CPIS (1994) menemukan bahwa pasar tradisional dan
supermarket menarik segmen konsumen yang berbeda. Pasar tradisional umumnya menarik
para konsumen kelas menengah-bawah, sementara supermarket menarik para konsumen dari
kelas menengah dan atas. Akan tetapi, perlu diingat bahwa studi CPIS dilakukan sebelum
sektor usaha ritel dibuka bagi investasi asing langsung pada 1998.

Di samping itu, studi CPIS menemukan bahwa barang yang dijual di dua jenis pasar tersebut
sebagian besar bersifat komplementer, dengan pasar tradisional yang menyediakan makanan
segar/mentah dan supermarket yang menjual makanan olahan dan nonmakanan. Terkait
dengan perbedaan ini, studi tersebut mengungkapkan bahwa keuntungan kompetitif pasar
tradisional adalah harga rendah dan kesegaran produk yang dijualnya, sementara
supermarket menyajikan tingkat kenyamanan dan kebersihan terbaik. Dengan demikian
studi ini menegaskan bahwa pasar tradisional dan supermarket bersifat saling melengkapi.
Akan tetapi, studi ini juga mengingatkan bahwa jika pasar tradisional tidak dikelola secara
tepat, mereka dapat kehilangan kelebihan yang mereka memiliki atas supermarket. Karena
itu, rekomendasi kebijakan dari studi CPIS lebih banyak mengarah pada penguatan pasar
tradisional daripada pengaturan regulasi penzonaan atau pembatasan jam-jam pengoperasian
supermarket.

III. DAMPAK SUPERMARKET TERHADAP
PASAR TRADISIONAL

Temuan studi ini menunjukkan adanya penurunan kinerja pedagang pasar tradisional
secara keseluruhan. Bab ini menganalisis secara khusus kontribusi supermarket terhadap
penurunan tersebut. Analisis kualitatif mengawali diskusi pada bab ini, dilanjutkan
dengan analisis kuantitatif untuk mengukur dampak supermarket terhadap pasar
tradisional.
Di Depok, Giant Cimanggis dan Medali Mas adalah supermarket yang berlokasi dekat Pasar
Cisalak dan Pasar Tugu. Menurut para pedagang, Medali Mas belum secara signifikan
berdampak pada kegiatan bisnis mereka, sementara supermarket Giant telah menyerap
sejumlah besar konsumen. Beberapa pedagang yakin bahwa Giant telah menyebabkan
penurunan omzet dan keuntungan mereka. Para pedagang yakin bahwa di masa
mendatang, keberadaan supermarket bakal mengganggu keberadaan pasar tradisional
karena produk yang dijual tidak berbeda dengan harga yang sama atau bahkan lebih
rendah. Terlebih lagi, fasilitas dan infrastruktur di supermarket menjamin tersedianya
rasa aman dan kenyamanan yang lebih baik. Tidak hanya itu, Giant menyediakan potongan
harga pada akhir pekan. Berbeda dengan keterangan para pedagang tradisional, seorang staf
dari Dinas Pasar Depok menyatakan bahwa keberadaan supermarket dan hipermarket di seputar
pasar tradisional kurang berdampak atau bahkan tidak berdampak sama sekali pada pasar
tradisional.
Akan tetapi, terkecuali di Pasar Pamoyanan, para pedagang juga menyatakan bahwa
dampak supermarket tidak sesignifikan akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh
masalah internal yang kerap mereka alami di pasar. Selain itu, mereka juga mengakui
bahwa ada sedikit perbedaan dalam hal karakteristik pembeli yang datang ke pasar
tradisional dan modern, misalnya, para pedagang keliling dan pemilik warung/toko kecil
masih memilih untuk berbelanja di pasar tradisional. Dalam salah satu wawancara, para
pedagang menyebutkan bahwa mereka siap bersaing selama infrastruktur pasar dan fasilitas
umumnya diperbaiki (lihat Kotak 1 dan 2).
Di Bandung, para pedagang di Pasar Sederhana mengeluh tentang Carrefour yang baru
dibangun. Para pedagang yang menjual bahan pangan pokok dan kebutuhan rumah
tangga lainnya secara khusus telah merasakan dampaknya. Sebaliknya, pedagang di Pasar
Leuwipanjang sama sekali tidak merasakan dampak supermarket. Namun demikian,
keluhan utama mereka adalah seputar keberadaan para PKL. Keluhan mereka juga
dibenarkan oleh para pedagang di Pasar Sederhana. Sementara itu, para pedagang di
Pasar Pamoyanan mengklaim bahwa Hero telah menjadi penyebab utama penurunan
kegiatan bisnis mereka.
APPSI Cabang Bandung dengan keras menolak kehadiran supermarket. Mereka
mengklaim bahwa pemerintah telah mengabaikan kepentingan para pedagang pasar
tradisional dengan mengizinkan pendirian supermarket yang terlalu dekat dengan pasar
tradisional. Meskipun APPSI hanya mewakili anggota-anggotanya, yakni sejumlah kecil
para pedagang, pendapat APPSI cukup beralasan karena Pemda Bandung memang berulangkali melanggar rencana tata ruangnya sendiri demi mengakomodasi kehadiran
supermarket.
Dari hasil pengamatan, terdapat beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa ada
sebagian pasar tradisional yang terkena dampak supermarket sementara sebagian lainnya
tidak. Pertama adalah faktor jarak antara pasar tradisional dan supermarket, di mana
pasar tradisional yang berada relatif dekat dengan supermarket, paling banyak terkena
dampak. Kedua, faktor yang terpenting adalah karakteristik konsumen pada pasar
tradisional. Pasar tradisional yang pelanggan utamanya dari kalangan kelas menengah ke
atas, seperti Pasar Pamoyanan, merasakan dampak yang paling besar akibat kehadiran
supermarket.

Temuan bahwa kelompok kontrol juga mengalami penurunan keuntungan dan omzet
merupakan hal yang menarik. Bahkan yang mengejutkan adalah bahwa kelompok
kontrol cenderung mengalami penurunan lebih besar dalam hal keuntungan
dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Paling tidak, dari temuan ini dapat
diasumsikan bahwa tidak ada bias dalam pemilihan sampel studi ini karena pedagang
yang mengalami kebangkrutan dalam pasar perlakuan adalah mereka yang
kemungkinan besar terpaksa menutup usahanya, meskipun tidak ada supermarket di
sekelilingnya.
Metode ekonometrik dipakai untuk analisis kuantitatif kedua. Dalam estimasi persamaan
2 dan 3 dalam Bab III, terdapat tiga variabel kontrol yang digunakan. Pertama, variabel
yang mengontrol kondisi pedagang pada 2003. Kedua, variabel yang mengontrol
perubahan-perubahan kondisi antara 2003 dan 2006. Ketiga, variabel kontrol yang
terakhir berupaya untuk mengontrol variabel tertentu yang tidak teramati, termasuk
variabel boneka untuk Depok. Secara total, dilakukan 12 estimasi untuk setiap variabel
dependen: perubahan proporsional dalam omzet, keuntungan, dan jumlah pegawai.
Selain itu, juga digunakan dua variabel sebagai indikator keberadaan supermarket:
variabel boneka keberadaan supermarket dan jarak pasar ke supermarket terdekat.
Seluruh hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel X.2.
Dalam kolom 1–6 boneka perlakuan keberadaan supermarket digunakan sebagai variabel
yang menjadi sorotan utama analisis. Perhatikan bahwa kolom pertama pada dasarnya
sama dengan hasil untuk omzet DiD dalam Tabel X.1. Kemampuan model untuk
menjelaskan variasi dalam data kian meningkat saat dimasukkan berbagai variabel
kontrol, dari hampir nol pada kolom 1 hingga 0,3 pada kolom 6. Jika dicermati secara
khusus pada koefisien variabel/boneka perlakuan, tanda koefisien adalah negatif dalam
kolom 1 dan 4, namun menjadi positif pada kolom 2, 3, 5, dan 6. Namun, tidak satupun
koefisien variabel boneka supermarket dalam spesifikasi tersebut secara statistik
signifikan.
Pada kolom 7–12 digunakan variabel jarak dari pasar ke supermarket terdekat untuk
mengukur dampak yang mungkin timbul, alih-alih menggunakan variabel boneka.
Seperti halnya dengan rangkaian estimasi pertama, tidak ada koefisien variabel jarak
yang signifikan secara stastistik. Juga sama halnya dengan rangkaian estimasi pertama,
memasukan lebih banyak variabel kontrol meningkatkan kemampuan model untuk
menjelaskan variasi dalam data.
Kolom 13–24 mereplikasi kolom 1–12 untuk indikator keuntungan sebagai variabel
dependen. Kolom 13 memiliki hasil yang sama seperti evaluasi DiD terhadap keuntungan
yang tertera dalam Tabel X.1. Bila melihat pada seluruh tabel tersebut, tidak ditemukan
adanya dampak signifikan dari variabel boneka keberadaan supermarket atau pun
variabel jarak dari pasar ke supermarket terdekat. Berbeda dengan kolom 1–12, tanda
koefisien tidak berubah dari plus ke minus atau sebaliknya antara model sederhana dan
model yang ditambahkan dengan kontrol.
Pada kolom 25–36, jumlah pegawai digunakan sebagai indikator kinerja. Jika mengamati
secara khusus koefisien variabel jarak ke supermarket terdekat, tanda koefisien dalam
kolom 32, 33, 35, dan 36 bertanda positif dan secara statistik signifikan. Hal ini memberikan bukti bahwa dampak supermarket pada jumlah pegawai di pasar tradisional
secara statistik signifikan. Semakin jauh jarak pasar tradisional ke supermarket, semakin
banyak jumlah pegawai yang dipekerjakan oleh pedagang. Terlebih lagi, menarik untuk
dicatat bahwa rangkaian variabel kontrol level 2003 adalah yang menyebabkan indikator
dampak menjadi signifikan.
Isu terakhir berkait dengan para pedagang yang terpaksa menutup usahanya karena
kehadiran supermarket. Peneliti tidak secara langsung bertemu dengan para pedagang yang
menghentikan usahanya akibat kompetisi dengan supermarket. Oleh karena itu, informasi
tentang hal ini dikumpulkan dari pedagang dalam kelompok perlakuan melalui kuesioner
dan wawancara mendalam. Selain itu, isu ini juga ditanyakan kepada pengelola pasar
tradisional dan asosiasi pasar tradisional.
Beberapa dari mereka yang tidak lagi berdagang di Pasar Cisalak berpindah ke Pasar
Cibubur. Lainnya membuka usaha sendiri di rumah, dan sisanya bekerja di sektor
informal. Di Pasar Musi, banyak pedagang menjadi PKL. Di samping itu, ada juga yang
mengalami kebangkrutan dan kembali ke kampung halamannya. Kebanyakan pedagang
yang berpindah ke jalan sekitar pasar adalah pedagang sayuran dan bahan pangan pokok.
Sebagaimana kasus di Pasar Cisalak di Bandung, banyak pedagang dari Leuwipanjang
berpindah ke pasar yang lebih kecil dan banyak yang menjadi PKL.
Dalam kuesioner, pedagang menyatakan bahwa sepertiga dari mereka yang mengalami
kebangkrutan umumnya telah berpindah ke pasar lain, sementara separuhnya
menganggur. Sisanya telah berganti jenis pekerjaan seperti menjadi sopir bus atau ojek.
Pedagang yang bangkrut mungkin menjadi hal yang perlu mendapat perhatian jika
terdapat alasan cukup kuat yang menunjukkan bahwa pedagang yang bangkrut dalam
pasar perlakuan tidak akan mengalami kebangkrutan jika tidak terdapat supermarket di
sekitarnya. Akan tetapi, tidak demikian kasusnya dalam studi ini. Pertama, pasar kontrol
mengalami kerugian yang cenderung lebih besar dalam hal keuntungan dibandingkan
dengan pasar perlakuan. Kedua, terdapat omzet yang sebanding dalam pasar kontrol.
Ketiga, tidak setiap pasar perlakuan mengalami penurunan dalam jumlah pedagang.
Kesimpulannya, hanya sebagian kecil pedagang dalam kelompok perlakuan yang
mengetahui seorang pedagang yang bangkrut, dan kita tidak menemukan bukti bahwa
kebangkrutan pada pasar perlakuan berkaitan dengan supermarket.


IV. KESIMPULAN
Supermarket menjamur di berbagai kota besar selama tiga dekade terakhir. Namun sejak
pemberlakuan liberalisasi sektor ritel pada 1998, pengelola supermarket asing mulai memasuki
Indonesia, yang mencetuskan persaingan tajam dengan pengelola supermarket lokal. Beberapa
kelompok mengklaim bahwa pasar tradisional merupakan korban sesungguhnya dari
persaingan tersebut karena mereka terpaksa kehilangan pelanggan akibat tawaran produkproduk
bermutu dengan harga murah dan kenyamanan lingkungan berbelanja dari
supermarket. Karena itu, ada desakan agar pembangunan supermarket dibatasi, khususnya pada
lokasi yang berdekatan dengan pasar tradisional.
Studi ini mengkaji kebenaran di balik klaim-klaim tersebut dengan mengukur dampak
supermarket pada pedagang pasar tradisional di pusat-pusat perkotaan di Indonesia. Kajian
ini utamanya menggunakan metode penelitian kuantitatif, yang didukung dengan metode
penelitian kualitatif untuk memperkuat temuan-temuan kuantitatif. Metode kuantitatif
menggunakan metode difference-in-difference (DiD) dan metode ekonometrik. Metode
kualitatif meliputi wawancara mendalam dengan wakil APPSI, APRINDO, pengelola
pasar tradisional, pedagang pasar tradisional, pengelola/staf supermarket, dan pejabat
pemda terkait.
Lima pasar tradisional dipilih sebagai kelompok perlakuan dan dua pasar tradisional
digunakan sebagai kelompok kontrol. Kerangka sampel tersebut menjamin representasi pasar
tradisional yang ada di wilayah perkotaan di Indonesia. Lebih lanjut, kerangka sampel
tersebut juga menjamin bahwa kelompok perlakuan dan kelompok kontrol memiliki
karakteristik yang relatif sama selain dari dekatnya jarak dengan supermarket. Dua pasar
perlakuan dan satu pasar kontrol berlokasi di Depok, suatu pusat perkotaan yang berada tidak
jauh dari Jakarta, sementara selebihnya terletak di Kota Bandung dan sekitarnya, ibu kota
Provinsi Jawa Barat. Pedagang yang dipilih secara acak di pasar-pasar ini diwawancarai
dengan menggunakan kuesioner dan mereka mewakili pedagang pasar tradisional. Selain itu,
juga dilakukan 37 wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan yang telah
disebutkan di atas.
Umumnya, para pedagang baik pada pasar perlakuan maupun pada pasar kontrol samasama
mengalami kelesuan usaha selama tiga tahun, antara 2003 dan 2006. Dalam
wawancara mendalam, para responden mengungkapkan bahwa penyebab utama kelesuan
ini adalah lemahnya daya beli pelanggan sebagai akibat lonjakan harga BBM pada 2005
dan peningkatan persaingan dengan PKL yang berjualan di lahan parkir dan area lain di
sekitar pasar, dan bahkan menutup pintu masuk pasar. Penyebab ketiga yang terkait
dengan kelesuan usaha yang dialami pedagang pasar tradisional adalah supermarket. Hal
ini secara khusus ditemukan pada pedagang di pasar kelompok perlakuan. Secara khusus
supermarket telah diidentifikasi sebagai penyebab utama kelesuan usaha para pedagang di
Pasar Pamoyanan di Bandung, satu-satunya pasar dalam studi ini yang mayoritas
pelanggannya berasal dari rumah tangga kelas menengah dan tidak memiliki masalah
dengan PKL.
Analisis dampak kuantitatif mengungkapkan hasil analisis stasitistik untuk berbagai
indikator kinerja pasar tradisional, seperti keuntungan, omzet, dan jumlah pegawai. Di antara ketiga indikator kinerja tersebut di atas, supermarket secara statistik hanya
berdampak pada jumlah pegawai yang dipekerjakan oleh pedagang pasar tradisional.
Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah pegawai yang dipekerjakan oleh pedagang pasar
tradisional menjadi berkurang bila keberadaan pasar dekat dengan supermarket, dan
demikian sebaliknya.
Hasil ini kemudian ditegaskan oleh temuan analisis kualitatif bahwa supermarket bukanlah
penyebab utama kelesuan usaha yang dialami pedagang pasar tradisional. Para pedagang,
pengelola pasar, wakil APPSI semuanya menegaskan bahwa langkah utama yang harus
dilakukan demi menjamin keberadaan pedagang pasar tradisional adalah perbaikan
infrastruktur pasar tradisional, pengorganisasian para PKL, dan pelaksanaan praktik
pengelolaan pasar yang lebih baik. Para pedagang secara eksplisit mengungkapkan
keyakinan mereka bahwa supermarket tidak akan menyingkirkan usaha mereka jika syarat
tersebut di atas dapat dipenuhi.
Sementara itu, terdapat bukti nyata bahwa sebagian pedagang telah menutup usaha
dagangnya selama tiga tahun yang lalu. Alasan untuk hal ini bersifat lebih kompleks dari
sekadar karena hadirnya supermarket semata. Kebanyakan penutupan usaha erat berkaitan
dengan persoalan internal pasar dan persoalan pribadi. Selain itu, pedagang yang
pelanggan utamanya bukan rumah tangga dan telah membina hubungan yang baik dengan
pelanggan selama waktu yang lama berkemungkinan lebih besar untuk bertahan dalam
usahanya.
Hasil di atas lebih lanjut ditegaskan oleh kisah sukses pasar tradisional di Bumi Serpong
Damai (BSD), Tangerang, yang tetap dapat mempertahankan pelanggannya meskipun di
sekitarnya telah dibangun beberapa pasar modern (Pikiran Rakyat 2006; Tabloid Nova
2006). Kebersihan, keamanan, lahan parkir yang luas, dan fasilitas umum yang memadai
tersedia di pasar ini. Ini membuktikan bahwa pasar tradisional yang kompetitif mampu
bersaing dan hadir bersama dengan supermarket.
  • 125x125 Ads3
    • Sugeng rawuh kagem panjenengan sedoyo, maturnuwun sampun mirsani blogg kulo. yooo selamat membaca..! Semoga dapat bermanfaat untuk semua pembaca. nuwuun.. Assalamualaikum..
     

    Copyright 2008 All Rights Reserved | Revolution church Blogger Template by techknowl | Original Wordpress theme byBrian Gardner